Skenario Orang-orang Berengsek

Haska Pradipta mengenal Mia Maudy dengan sangat baik. Bertahun-tahun keduanya hidup berdampingan, baik sebagai teman, kekasih, suami istri, maupun mantan suami istri. Haska tahu apa saja hal-hal yang biasa Mia lakukan saat sedang senang maupun sedih. Karena alasan itulah Haska bergegas menuju rumah Mia ketika ia mendengar jeritan hingga suara barang-barang yang berjatuhan melalui telepon yang sampai saat ini masih terhubung. Satu hal yang pasti adalah Haska tidak ingin Mia melukai Ara maupun diri perempuan itu sendiri. Haska tidak akan menyangkal perihal keberadaan kekhawatiran di dalam hatinya untuk perempuan itu. Bagaimanapun ia pernah merasakan kebahagiaan di tengah kegersangan hidupnya bersama Mia. Bagaimanapun pula, Haska masih ingat dengan baik perihal Mia yang pernah menderita di ranjang rumah sakit karena keguguran pada kehamilan pertamanya.

Haska tahu selama perjalanan menuju rumah Mia ia terus berharap bahwa dugaannya perihal kondisi Mia saat ini adalah sebuah kesalahan. Namun, manakala Haska memasuki rumah Mia, suara jerit dan tangis Mia masih terdengar. Tidak hanya itu, Haska juga bisa mendengar tangis bayi yang semakin membuat dadanya terasa sesak. Ara pasti ketakutan. Bocah yang belum genap berusia 1 tahun itu sudah pasti takut ketika mendengar tangis sang Ibu. Apalagi ditambah dengan suara barang yang berjatuhan hingga pecah di permukaan lantai, Haska tahu Ara sudah pasti sangat ketakutan saat ini. Oleh karena itu, hal pertama yang Haska lakukan adalah berlari menuju kamar Ara.

Helaan napas penuh kelegaan dari Haska terdengar ketika pria itu melihat keberadaan babysitter yang ia tugaskan untuk menjaga Ara. Perempuan berusia hampir setengah abad itu tampak takut sekaligus bingung. Namun, Haska bisa melihat kelegaan yang hadir di mata wanita itu ketika Haska memasuki kamar Ara ini.

“Ibu begitu sejak pulang sore tadi, Pak,” lapor wanita yang saat ini tengah memeluk Ara yang masih menangis.

“Saya mau bawa Non Ara pergi, tapi saya khawatir ke Ibu, Pak,” ujar wanita itu lagi.

“Biar saya yang urus. Ibu bawa Ara ke bawah. Ke tempat yang jauh dari kamar Mia,” titah Haska yang segera dilaksanakan oleh babysitter Ara itu.

Selesai dengan urusan mengamankan Ara, Haska segera bergeser menuju ruang pribadi Mia yang tidak berjarak jauh dari kamar Ara. Hal pertama yang Haska lihat adalah beberapa botol skincare yang pecah di lantai bersama beberapa pecahan barang lain. Kamar ini berantakan. Namun, hal yang Haska tahu mampu membuat hatinya tersayat bukanlah betapa berantakannya kamar ini, melainkan keberadaan seorang perempuan yang tengah terduduk dengan lemas di lantai dengan air mata yang masih terus berjatuhan. Dengan hati-hati Haska memasuki kamar Mia dan melangkahkan kakinya menuju tempat Mia berada.

“Mia,” panggil Haska dengan lembut.

Mia menegakkan lehernya untuk menatap pria tinggi yang saat ini tampak hendak berjongkok untuk sampai di hadapannya. Dengan netra yang masih terus meneteskan air mata, Mia tampak tersenyum sebelum berujar, “Haska, aku cuma mau punya hidup selayaknya orang-orang di luar sana.”

“Tapi, hari ini aku ngerasa kalau hidupku beneran hancur, berantakan,” imbuh Mia yang ia ucapkan dengan lengkung senyum yang masih bertahan di wajahnya.

Haska tahu senyum Mia mengingatkannya pada senyum yang perempuan itu tampilkan sesaat setelah Mia mengetahui bahwa bayi mereka tidak selamat. Dengan senyum yang tampil, Haska ingat kalimat pertama yang perempuan itu katakan.

“Aku gapapa kok. Kan masih ada kamu. Yang penting masih ada kamu.”

“Aku gak bisa bilang kalau aku gapapa, Haska. Karena aku beneran udah gak punya siapa-siapa di sini,” ujar Mia yang menyadarkan Haska dari alam lamunannya.

“Kamu tahu gak? Aku marah sama diri aku sendiri,” ujar Mia yang kembali menunduk, menatap ke arah kakinya yang terluka oleh pecahan kaca yang berserakan di lantai, tempatnya terduduk saat ini.

Haska melihat luka-luka itu. Haska juga mendapati sebotol obat tidur yang ada di genggaman Mia. Dengan perlahan Haska meraih pergelangan tangan Mia sebelum ia mengambil botol obat itu. Haska tentu tahu obat itu bisa membawa hal buruk jika tetap berada dalam genggaman Mia yang jauh dari kata stabil saat ini. Usai dengan urusan menyingkirkan botol obat itu, Haska kemudian membantu Mia untuk berdiri dan menuntunnya ke permukaan tempat tidur. Setelah memastikan Mia duduk dengan nyaman, Haska berniat untuk mengambil kotak P3K untuk mengobati luka di kaki Mia. Namun, pergerakan Haska terhenti oleh hadirnya kalimat dari Mia.

“Aku benci kamu, Haska. Aku benci kamu karena aku gak bisa lepasin kamu semudah keluarga kamu merendahkan aku,” aku Mia.

“Aku selingkuh. Itu salah. Aku lakuin itu karena aku benci kamu. Aku benci kamu karena keluarga kamu, karena Ibu kamu. Jadi, aku balas dendam dengan nyakitin kamu. Aku berharap dengan itu kamu akan benci aku dan tinggalin aku. Tapi, kamu masih terus bertahan,” lanjut Mia.

“Kalau kamu tanya kenapa bukan aku aja yang tinggalin kamu, jawabannya karena aku gak bisa lakuin itu. Aku bisa lakuin semua hal yang nyakitin kamu, tapi aku gak bisa tinggalin kamu. Makanya itu, setelah kita menikah aku milih buat terima ajakan gila Kakak kamu karena aku pikir kamu bakal langsung tinggalin aku,” ujar Mia lagi.

“Sekarang setelah tahu kalau alasan Ibu kamu benci aku adalah karena dia punya calon menantu lain, aku menyesal. Seharusnya aku bisa pertahanin rumah tanggaku sama satu-satunya orang yang peduli sama aku,” ujar Mia.

“Makanya itu aku marah ke diriku sendiri. Ibu kamu beneran bikin aku jadi orang paling bodoh dan jahat ke kamu. Tapi, aku tahu… tetap aku yang salah,” imbuh Mia.

Dengan netra yang perlahan menatap ke arah Haska, Mia kemudian berujar, “Aku minta maaf, ya. Aku banyak nyakitin kamu, Haska.”

“Kamu gak perlu maafin aku,” ujar Mia lagi.

“Mia,” panggil Haska dengan lembut.

“Kamu tidur di kamar lain aja, ya. Jangan di sini,” ujar Haska yang ia imbuhi, “Biar besok dibersihin sama ART di sini.”

“Aku di sini aja,” jawab Mia.

Tersenyum tipis, Mia kemudian berujar, “Aku gak akan mati kok. Kalau aku gak ada, Ara nanti sendiri.”

Ketika Haska terdiam, Mia kemudian berujar, “Haska, maaf. Tapi, aku gak bisa buat enggak marah ke Ila.”

Senyum di wajah Mia hilang ketika dengan segera Haska menatapnya sesaat setelah nama Ila ia sebut. Dengan kekhawatiran yang tampak jelas di raut wajahnya, Haska kemudian membalas, “Ila gak tahu soal ini, Mia.”

“Aku tahu itu. Tapi, aku gak bisa. Ibu kamu udah benci aku sejak kita pacaran. Itu artinya Ibu kamu udah berusaha nikahin kamu sama Ila sejak kita pacaran,” sanggah Mia.

“Ada kata-kata dari Ibu kamu yang masih membekas di aku. Waktu itu kamu kenalin aku buat yang pertama kalinya ke keluarga kamu. Di situ Ibu kamu bilang kalau ada perempuan lain yang lebih pantas buat kamu nikahi. Perempuan itu berasal dari keluarga yang setara sama keluarga kamu. Sekarang aku tahu perempuan yang dimaksud Ibu kamu itu Ila,” ujar Mia dengan air mata yang terus berjatuhan.

“Kamu tahu apa yang bikin aku ngerasa semakin buruk? Asisten pribadi Mamanya Ila yang bantu Ibu kamu ngurus perceraian kita. Itu artinya mereka memang masih berhubungan bahkan setelah kita menikah, Haska,” imbuh Mia.

“Asisten pribadi dan Mama Ila emang salah, tapi Ila enggak, Mia. Ila gak tahu apa-apa soal ini,” balas Haska.

Mia mengangguk paham. Ia tidak memiliki tenaga untuk berdebat. Sebab, ia tahu Haska akan tetap berada di pihak Ila dan hal itu menyakitinya. Pembelaan yang Haska lakukan mengingatkan Mia pada pengakuan cinta yang tempo hari Haska suarakan, cinta pria itu kepada istri barunya. Tanpa berkeinginan untuk menyanggah, Mia perlahan menggerakkan tubuhnya untuk berbaring. Ia ingin segera tidur. Lagipula, ia sudah sempat menelan beberapa butir obat tidur tepat sebelum Haska memasuki kamar ini. Jadi, netranya saat ini sudah mulai terasa berat.

“Aku berusaha buat enggak marah ke Ila. Tapi, aku gak bisa janji. Mungkin besok aku bangun dengan rasa marah yang sama atau jauh lebih besar. Jadi, aku minta maaf ke kamu kalau besok aku jadi Mia yang kamu benci lagi,” ujar Mia yang hanya berbalas bungkam oleh Haska.

Setelah menyuarakan kalimat terakhirnya, Mia tampak menutup mata dengan deru napas yang perlahan terdengar teratur. Perempuan itu tertidur ketika air mata Haska mulai jatuh satu per satu. Sesak di dadanya semakin menggila ketika ia melihat sekacau apa kondisi Mia saat ini. Dengan sisa air mata di permukaan pipi hingga luka-luka goresan yang ada di kaki itu, Mia tampak benar-benar kacau saat ini. Perlahan Haska menggerakkan jemarinya untuk menghapus sisa air mata di pipi Mia sebelum bangkit dari posisinya untuk mencari kotak P3K.

Beberapa saat setelah Haska memasuki kamar ini untuk mengobati kaki Mia, netra Haska terfokus pada ponsel Mia yang tergeletak di permukaan lantai. Entah mendapat bisikan dari mana, Haska mengambil langkah untuk mendekat pada ponsel itu sebelum membukanya dengan delapan angka yang masih ia ingat sebagai tanggal pernikahan mereka. Dalam waktu yang terbilang singkat, Haska menggerakkan jemarinya untuk memblokir dan menghapus nomor serta riwayat perpesanan Mia dengan Ila sebelum kembali ke permukaan tempat tidur untuk mengobati kaki Mia.

*

Haska menyelesaikan pekerjaannya di rumah Mia dengan menambah satu pertugas keamanan untuk berjaga di depan pintu rumah dan dua ART untuk berjaga di dalam rumah. Rumah ini sudah dipenuhi oleh orang yang bisa menjaga Mia dari tindakan bodoh yang bisa perempuan itu lakukan kapan saja. Tidak hanya itu, Haska juga sudah berpesan kepada babysitter Ara untuk tidak membiarkan Ara berdua saja bersama Mia sampai kondisi membaik. Selesai dengan rangkaian pekerjaan itu, Haska memutuskan untuk menelepon Ibunya yang hari ini sedang berada di luar kota. Sembari bersandar di mobilnya yang terparkir asal di halaman luas rumah Mia, Haska perlahan mengambil sekotak rokok dengan pematik api dari sakunya. Nada tunggu yang lama membuat kesabarannya kian menipis. Bahkan, sampai sebatang rokok itu sampai di bibir Haska dengan asap yang mulai menyentuh udara, panggilan itu masih belum terhubung.

“Bu…”

“Ibu sudah dengar dari ART di rumah Mia,” ujar Ibu memotong kalimat Haska.

Haska membuang napas panjang sebelum bertanya, “Semua itu benar, Bu?”

“Mia yang terlalu berlebihan. Seharusnya dia tahu kalau kalian tidak berasal dari satu kelas sosial yang sama. Seharusnya dia mundur sejak awal,” ujar Ibu Haska yang ia sambung, “Dengan begitu kamu gak perlu jadi duda selama 1 tahun sebelum menikah dengan Ila.”

“Kamu bisa bahagia lebih awal…”

“Anak teman Ibu yang sering Ibu ceritakan sebelum aku bawa Mia ke rumah itu Ila?” tanya Haska memotong kalimat Ibunya.

“Benar. Ibu dan Mama Ila sudah jodohin kalian sejak lama. Kamu saja yang bodoh…”

Haska mengakhiri panggilan itu dengan air mata yang kembali turun. Haska tentu tahu apabila kebenaran ini terungkap, dua perempuan itu akan sama-sama tersakiti. Mia akan semakin hancur dan Ila tak akan menampilkan senyum penuh keceriaan itu lagi. Ila, perempuan itu berhati lembut. Haska sudah bisa membayangkan sebanyak apa rasa bersalah yang membelenggu hati perempuan yang teramat ia cintai itu.

Berkat seluruh rangkaian dugaan yang berkeliaran di kepalanya, Haska mendapati amarahnya memuncak. Tak berselang lama, Haska melempar ponselnya dan menginjaknya beberapa kali dengan air mata yang terus turun.

Bagaimana bisa orang-orang berengsek itu menyusun skenario sempurna yang sempat Haska pikir sebagai milik Tuhan?


Komentar

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai