Kembali

Giantara Atmadja membenci mereka yang menggilai banyak pria dan wanita. Ia benci wanita yang menggilai banyak pria. Ia juga benci pria yang menggilai banyak wanita. Karena alasan itulah, Gian tidak bisa memaafkan satu-satunya mantan kekasih yang ia miliki. Ia juga tidak bisa membangun hubungan dekat dengan Papanya. Rasanya menjijikkan. Aroma napas mereka mengandung kebohongan, busuk nan menyengat sebanyak apa pun wangi-wangian yang masuk ke dalam sana. Aroma nafsu kotor itu tidak bisa ditutupi oleh apa pun. Bahkan, di antara senyum yang orang-orang itu tampilkan, terdapat banyak lembar kemunafikan yang memuakkan. Rasanya seperti ingin merobek wajah-wajah itu dari hadapannya. Karena merobek wajah orang lain termasuk ke dalam tindakan yang dilarang secara hukum, Gian pun memilih untuk mengontrol dirinya dengan membangun batasan yang tinggi dengan orang-orang seperti itu.

“Kamu potong rambut?” tanya Gian yang sedari tadi sibuk menatap Lyora yang mondar-mandir di depan cermin kamar mandi.

Saat ini Gian sedang berdiri sembari menyandarkan punggungnya di dinding lorong yang menghadap langsung ke arah kaca kamar mandi. Ia sudah melakukan pekerjaan sukarela ini selama kurang lebih 15 menit dan Lyora sama sekali belum tampak hendak menyelesaikan pekerjaannya di dalam sana. Perempuan berusia awal 30-an itu sedang mengolesi perut dan paha atasnya dengan krim yang Gian tahu sebagai penghilang bekas stretch mark, garis-garis yang mulai muncul ketika tubuh Lyora membesar karena kehamilannya 4 tahun yang lalu.

“Iya,” jawab Lyora seraya menatap ke arah Gian.

Menatap rambutnya melalui pantulan cermin, Lyora kemudian bertanya, “Kelihatan pendek banget, ya?”

Gian menggeleng. “Seingetku waktu itu sepinggang bawah.”

“Itu waktu aku persalinan. Habis itu mulai aku potong sedikit-sedikit,” jawab Lyora.

“Kenapa dipotong?” tanya Gian yang masih berdiri di tempatnya.

“Soalnya gak bisa dicat,” jawab Lyora seraya merapikan beberapa botol bodycare-nya sebelum keluar dari kamar mandi.

Sembari mengikuti langkah Lyora, Gian kemudian bertanya, “Maksudnya gimana? Aku gak ngerti.”

“Gapapa kok,” jawab Lyora yang enggan memperjelas bahwa ia memang memiliki hari-hari yang sangat melelahkan selama 4 tahun terakhir ini, khususnya 3 tahun ini setelah kepergian anak-anaknya.

Stretch mark-ku yang di paha ini kelihatan banget gak?” tanya Lyora ketika Gian sudah duduk di ranjang dan ia berdiri di sisi ranjang sebelah Gian.

“Enggak,” jawab Gian yang ia imbuhi dengan tanya, “Emangnya masih ada?”

“Masih. Stretch mark-ku banyak banget di perut sama paha. Mungkin karena awalnya badanku kecil terus dapat bayi kembar jadi beneran melar,” jawab Lyora yang perlahan menaiki ranjang dan mulai berbaring seperti yang dilakukan oleh Gian.

Lampu ruangan ini sudah mati, tergantikan oleh cahaya tamaram dari lampu tidur. Selama beberapa saat, hanya ada keheningan yang mengalir di antara keduanya. Keduanya sama-sama menggunakan keheningan itu untuk menatap langit-langit kamar hotel ini sembari memikirkan benang-benang yang sudah lama mengelilingi kepala mereka. Ketika Lyora masih menikmati pikiran dan tanyanya sendiri, tiba-tiba suara Gian memecah fokusnya. Secara refleks, perempuan yang kini tengah mengenakan piyama pendek itu menoleh ke arah suaminya itu.

“Aku minta maaf karena udah jadi suami yang jahat selama 3 tahun atau bahkan 4 tahun ini,” ujar Gian yang ia ucapkan sembari menatap ke arah langit-langit kamar.

Lyora menyanggah, “Kamu bukan suami yang jahat kok.”

Manakala Gian menoleh ke arahnya, Lyora kemudian berujar, “Tapi, jahat banget.”

“Aku bercanda!” seru Lyora dengan senyumnya.

Gian menghela napas sebelum membalas, “Jangan senyum.”

Lyora menghapus senyuman di wajahnya. Dengan netra yang menatap ke arah Gian, perlahan ia bisa mendengar pria itu berujar, “Jangan lihatin aku kayak gitu.”

“Salah terus,” gumam Lyora sebelum mengubah posisi tidurnya menjadi menyamping, membelakangi Gian.

Lyora kesal. Ia benar-benar ingin menjambak rambut pria itu. Sejujurnya, Lyora pikir hubungan mereka akan membaik mulai hari ini. Ia pikir hari ini adalah hari pertama untuk keduanya bisa kembali hidup sebagai sepasang suami istri seperti sediakala. Namun, Lyora rasa ia salah. Giantara Atmadja tetap menyebalkan dan ia tidak bisa menahan rasa sabarnya malam ini. Di tengah kekesalan Lyora, tiba-tiba jantungnya terasa hampir berhenti berdetak sebelum bekerja secara gila-gilaan ketika sebuah lengan melingkari perutnya. Gian memeluknya dari belakang. Bahkan, Lyora bisa merasakan deru napas hangat pria itu di sekitar lehernya. Tidak hanya sampai sana, Lyora juga bisa mendengar pria itu menyuarakan kalimat yang sialnya masih terasa hangat untuk hatinya.

“Aku cinta kamu, Lyora. Maaf buat semuanya,” ujar Gian di tengah pelukan itu.

“Selama ini aku kira aku kehilangan kamu yang dulu setelah kecelakaan itu, tapi aku baru sadar kalau ternyata aku yang kehilangan diriku sendiri. Maaf ya udah bikin kamu hidup sama orang asing dengan sampul suami selama 3 tahun terakhir ini,” ujar Gian lagi.

Lyora perlahan mengubah posisi tidurnya. Ia menghadap ke arah Gian yang masih menaruh lengannya di pinggang Lyora. Dengan netra yang menatap ke arah pria yang sudah lama hanya bisa ia tatap dari kejauhan ini, Lyora perlahan berujar, “Terus sekarang gimana? Mau tetap jadi orang asing?”

Gian menggeleng. “Aku mau dimaafin kamu. Kita lanjutin janji pernikahan kita.”

“Janji buat selalu bersama di semua kondisi hidup kita,” ujar Gian lagi.

“Aku maafin kamu 3 tahun lagi,” ujar Lyora dengan netra yang berkaca-kaca.

“Sayang…”

“Aku belum tahu alasan kenapa kamu benci aku, Gian,” ujar Lyora memotong kalimat Gian.

“Aku yang bajingan. Bukan salah kamu,” balas Gian dengan senyum tipisnya.

“Gi,” panggil Lyora sembari mengusap permukaan pipi Gian dengan lembut.

“Alasannya karena aku bajingan, Lyora. Itu aja. Kamu gak salah apa-apa,” ujar Gian.

“Aku marah karena kamu pergi di saat anak-anak lagi sakit. Aku makin marah waktu tahu kalau malam itu jadi malam terakhir kita sama anak-anak. Aku marah karena hal itu selama 3 tahun ini, padahal aku tahu itu aku lakuin buat tutupin kemarahanku ke diri sendiri karena gak bisa jaga anak-anak,” jelas Gian.

“Aku nyari kamu malam itu,” ujar Gian lagi.

Lyora terdiam. Banyak tanya yang berkeliaran di dalam kepalanya. Namun, tidak ada satu pun tanya yang bisa keluar dalam bentuk suara. Sementara itu, Gian yang masih menatap Lyora perlahan kembali menyuarakan kalimatnya, sebuah permintaan.

“Aku boleh minta tolong sesuatu?” tanya Gian.

“Aku gak nyaman kalau kita bahas soal kecelakaan itu. Jadi, aku minta tolong buat jangan bahas itu lagi,” ujar Gian.

Usapan lembut terasa di pinggangnya oleh jemari Gian sebelum pria itu kembali berujar, “Yang penting hubungan kita membaik.”

Tanpa banyak pikir, Lyora segera mengangguk. “Aku percaya sama kamu, Gi. Kamu suami dan ayah anak-anakku.”

Gian mengangguk sebelum mengusap permukaan pipi Lyora. Ia mengubur momen itu untuk selamanya. Ia mengubur rahasia di permukaan tanah pernikahannya. Gian tahu ini salah. Namun, hanya ia yang mengetahui cerita seutuhnya dari kisah yang ia ceritakan kepada Lyora. Hanya ia dan Lyora yang benar-benar tahu keseluruhannya. Lalu, ketika semesta memberikan kesempatan untuk Lyora melupakan momen itu, Gian rasa ia akan membantu alam semesta untuk benar-benar menguburnya. Meskipun ia tahu luka dan semua jejaknya masih bertahan dalam dirinya entah sampai kapan, Gian akan tetap melakukannya. Ia akan tetap mengubur semuanya. Hanya karena ia hidup dalam mimpi buruk, bukan berarti ia harus menyeret perempuan yang amat ia cintai ke tempat yang sama.

“Aku sayang kamu, Ra,” bisik Gian sebelum mengecup permukaan bibir Lyora.

“Aku juga sayang sama Bajingan ini,” balas Lyora yang berbuah senyum dari Gian.

Keduanya saling melempar tatap saat ini. Dengan senyum yang tersemat di wajah masing-masing, perlahan Gian berujar, “Kamu yang pertama kali ngajarin aku jadi bajingan.”

“Kok aku?” protes Lyora dengan kebingungannya.

“Iya, kamu. Pantatku dipukul Mama pakai tas mahalnya waktu tahu kamu hamil sebelum kita nikah,” ujar Gian.

“Padahal, menantunya yang request mau dihamilin dulu,” timpal Gian.

“Ya, kamu sih! Waktu pertama kali lamar aku bilangnya mau jadi suami sekaligus ayah. Ya, aku cuma mau ngetes aja bisa jadi ayah beneran atau engga,” balas Lyora sebagai pembelaan diri.

“Tapi, kamu ya yang ajarin aku seks!” seru Lyora yang hanya berbalas senyuman dari Gian sebelum pria itu menariknya ke dalam pelukan.

“Iya, aku yang ngajarin si Cantik ini. Maaf ya udah ajarin yang enggak-enggak. Mana dihamilin juga,” ujar Gian sebelum mendaratkan banyak kecupan di dahi Lyora yang tengah menatapnya.

“Aku mau kamu janji ke aku,” ujar Lyora seraya mengangkat kelingkingnya ke arah Gian yang tampak bertanya-tanya dengan janji yang ia katakan.

“Janji enggak berubah jadi orang asing yang dingin dan kasar ke aku. Kalau kamu gitu, aku bakal balas seribu kali lipat lebih parah,”ujar Lyora.

Gian menautkan kelingkingnya dengan kelingking Lyora sebelum meresmikan janji keduanya dengan sebuah ciuman di bibir. Ciuman itu terasa begitu lembut tanpa dorongan untuk meraup lebih banyak. Ciuman singkat itu terhenti tepat sebelum Gian kembali bersuara.

“Kamu gak akan bisa lakuin itu,” ujar Gian yang ia sambung, “Kamu gak akan pernah bisa nyakitin aku secara sengaja.”

Lyora mengangguk. “Karena aku cinta kamu.”

“Aku lebih cinta kamu, Ra,” balas Gian sebelum kembali meraih bibir Lyora untuk sebuah ciuman.

Awalnya ciuman itu terasa manis selayaknya pesta gulali di pasar malam yang menyenangkan. Ledakan kembang api yang tersebar di permukaan langit malam pun bisa Lyora rasakan di dalam dadanya. Namun, ciuman itu harus terhenti ketika ponsel Lyora berdering. Ada sebuah panggilan masuk di sana. Gian yang sudah berada di atas tubuh Lyora pun memutuskan untuk mengambil ponsel Lyora yang tergeletak di nakas, dekat ponselnya.

“Aku buka boleh?” tanya Gian meminta izin.

Lyora mengangguk. Sejujurnya, satu-satunya yang ada di kepala Lyora saat ini hanyalah ke mana ciuman ini akan Gian bawa. Di satu sisi ia menyukai sentuhan Gian. Ia merindukan semua kelembutan dan kehangatan yang pria itu berikan padanya. Namun, di sisi lain ia memiliki kekhawatiran. Keduanya sudah lama tidak melakukan hal ini. Ia takut rasanya tidak akan menyenangkan untuknya. Ia takut jika rasanya akan kaku seperti seks pertama mereka. Tidak hanya itu, Lyora juga mengkhawatirkan hal lain. Ia khawatir Gian tidak akan menyukai tubuhnya. Keduanya belum pernah berhubungan lagi setelah persalinan Lyora 3 tahun yang lalu. Tepatnya, Lyora memang kerap menghindar karena ia tidak percaya diri dengan tubuhnya kala itu. Saat ini pun Lyora masih mengkhawatirkan hal yang sama. Ia takut garis-garis stretch mark yang masih tersisa tipis di tubuhnya akan membuat Gian tidak menyukainya lagi. Meskipun jauh di dalam dirinya ia meyakini bahwa pria yang ia cintai bukanlah tipikal pria berengsek seperti itu.

“Aku matiin aja ya,” ujar Gian tiba-tiba.

“Siapa yang telepon?” tanya Lyora setelah memberi anggukan.

“Temen kamu. Gak penting,” jawab Gian.

“Faya?” tanya Lyora sembari menatap Gian yang tengah mengembalikan ponsel Lyora ke permukaan nakas.

Gian mengangguk. Pria itu kemudian menarik kaus yang tengah ia kenakan yang mengundang kekagetan Lyora. Tidak hanya sampai di sana, Gian juga perlahan melepas satu per satu kancing piyama yang Lyora kenakan. Ketika dua kancing sudah terlepas, Gian bisa merasakan jemari Lyora bergerak untuk menghentikannya.

“Ka… kamu mau apa?” tanya Lyora terbata.

“Kamu gak kangen aku?” tanya Gian yang ia sambung, “Lagi mens?”

Lyora menggeleng dengan kaku. “Besok aja.”

“Kenapa?” tanya Gian yang masih menggenggam kain piyama Lyora.

“Aku belum siap,” jawab Lyora apa adanya.

“Besok malam waktu kita di rumah,” jawab Lyora lagi.

Gian mengangguk paham. Pria itu kemudian bertanya, “Cium sekali lagi boleh?”

Lyora mengangguk dengan senyum yang terbit di wajahnya. Tak berselang lama, Gian pun merendahkan tubuhnya untuk meraih bibir Lyora. Namun, belum sampai keduanya mempertemukan bibir, ponsel Gian yang berada di sisi nakas yang lain tiba-tiba berdering. Dengan berat hati dan kekesalan yang memuncak, Gian menjauhkan tubuhnya dari Lyora dan mengambil ponselnya. Setelah melihat nama si pemanggil, Gian segera memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya sebelum turun dari ranjang.

“Ada urusan kerjaan, Ra. Kamu tidur duluan aja, ya,” ujar Gian sebelum mengecup dahi Lyora dan mulai berjalan menuju pintu yang akan membawanya ke teras yang menghadap langsung ke kolam renang.


Komentar

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai